PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI DALAM BIDANG PENDIDIKAN
A.
Biografi K. H. Hasyim Asy’ari
K. H. Hasyim
Asy’ari dilahirkan di desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 14
Februari 1871/ 24 Dzulqaidah 1287 H. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin
Pesantren di sebelah Selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah.Sejak kecil,
Hasyim belajar langsung dari Ayah dan kakeknya, Kiai Ustman. Bakat kepemimpinan
dan kecerdasannya memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap
tampil sebagai pemimpin. Hasyim kecil sangat giat dan cerdas. Hasilnya, ia saat
masih berumur 13 tahun, sang ayah menyuruhnya mengajar di pesantren karena
kepandaian yang dimilikinya.[1]
Tak puas dengan
ilmu yang diterimanya, pada usia 15 tahun, Hasyim berkelana dari satu pesantren
ke pesantren lain. Ia memulai petualangannnya menyerap ilmu agama di Pesantren
Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis
Semarang.Belum puas dengan ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan belajar agama
di Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura di bawah asuhan K. H. Khalil. Tak
lama di Bangkalan, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan Sidoarjo.Di
pesantren yang diasuh oleh K. H. Ya’qub inilah, agaknya Hasyim merasa
benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.K. H. Ya’qub dikenal sebagai
ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.
Selama lima
tahun, Hasyim menekuni ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya, K. H. Ya’qub
sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu.Maka, Hasyim
bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri.Ia, yang baru berumur 21 tahun
dinikahkan dengan Khadijah, salah satu putri K. H. Ya’qub.
Tidak lama
setelah perkawinan dengan Khadijah, K. H. Hasyim bersama istrinya berangkat ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana. Sesudah tujuh bulan
berada di Kota Suci, istrinya melahirkan putranya yang pertama dan diberi nama
Abdullah.Tidak berapa lama kemudian, istrinya yang sangat dicintainya itu wafat
di Mekkah.Belum genap 40 hari sepeninggal istrinya, Abdullah putranya yang
masih bayi meninggal pula. Akhirnya, pada tahun berikutnya ia kembali ke
Indonesia.
Pada tahun
1893, Hasyim kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya. Sejak itulah ia menetap di
Mekkah selama 7 tahun. Pada tahun 1899 pulang ke Tanah Air.Di Mekkah ia berguru
pada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang
hadits.Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah dahulu di Johor,
Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia pada tahun 1899, Hasyim
mengajar di Pesantren milik kakeknya, Kiai Ustman.
Kemudian, ia
mendirikan pesantren di Tebu Ireng. Sejak tahun 1900, Hasyim memposisikan
Pesantren Tebu Ireng menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam
tradisional.Dalam pesantren itu, bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi
juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan
membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
K. H. Hasyim
bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang
sukses.Tanahnya puluhan hektar.Dua hari dalam seminggu, biasanya K. H. Hasyim
istirahat tidak mengajar.saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang kala,
ia juga pergi ke Surabaya untuk berdagang kuda, besi dan hasil pertaniannya.
Dari bertani
dan berdagang itulah, K. H. Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari
perkawinannya dengan Mafiqah, putrid Kiai Ilyas, K. H. Hasyim dikarunia 10
orang anak: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul
Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf.[2]
Aktifitas K. H.
Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul
Ulama, bersama dengan ulama besar lainnya, seperti Syekh Abdul Wahab dan Syekh
Bishri Syansuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi
ini didukung oleh para ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada
awalnya, organisasi ini dikembangkan untuk merespon wacana khalifah dan
gerakan purifikasi itu dikembangkan Rasyid Ridha di Mesir, tetapi pada
perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekonstruksi sosial keagamaan
yang lebih umum.Bahkan, dewasa ini, Nahdatul Ulama berkembang menjadi
organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia.[3]
KH. Hasyim
Asy’ari wafat pada jam 03.45 dini hari tanggal 25 Juli 1947/ 7 Ramadhan 1366
H., dalam usia 79 tahun, di rumahnya di Tebu Ireng Jombang dan dikebumikan di
dalam kompleks pesantren yang dibangunnya.[4]
B.
Pemikiran Pendidikan Islam K. H. Hasyim Asy’ari
Untuk
menuangkan pemikirannya tentang pendidikan Islam, K. H. Hasyim Asy’ari telah
merangkum sebuah kitab karangannya yang berjudul Adab al-‘alim
waal-muta’allim.[5]
Kitab Adab
al-‘alim wa al-muta’allim merupakan kitab yang berisi tentang konsep
pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadil
al-Tsani tahun 1343.K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh
kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam
mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaaan agama yang sangat
luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang
luhur pula.Dalam konteks ini, K. H. Hasyim Asy’ari tampaknya berkeinginan bahwa
dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan itu disertai oleh perilaku sosial
yang santun (al-akhlak al-karimah).[6]
Untuk memahami
pokok pikiran dalam kitab tersebut perlu pula diperhatikan latar belakang
ditulisnya kitab tersebut. Penyusunan karya ini boleh jadi didorong oleh
situasi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan dan perkembangan yang
pesat, dari kebiasaan lama (tradisional) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru
(modern) akibat dari pengaruh sistem pendidikan Barat (Imperialis Belanda)
diterapkan di Indonesia.
Dalam kitab
tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang pendidikan Islam ke dalam delapan poin, yaitu:
1. Keutamaan ilmu
dan ilmuan serta keutamaan belajar mengajar.
2. Etika yang
harus diperhatikan dalam belajar mengajar.
3. Etika seorang
murid terhadap guru.
4. Etika murid
terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru.
5. Etika yang
harus dipedomani seorang guru.
6. Etika guru
ketika akan mengajar.
7. Etika guru
terhadap murid-muridnya.
8. Etika terhadap
buku, alat unutuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Dari delapan
pokok pemikiran di atas, K. H. Hasyim membaginya kembali ke dalam tiga
kelompok, yaitu: signifikansi pendidikan, tugas dan tanggung jawab seorang
murid, dan tugas dan tanggung jawab seorang guru.[7]
Pada dasarnya,
ketiga kelompok pemikiran tersebut adalah hasil integralisasi dari delapan
pokok pendidikan yang dituangkan oleh K. H. Hasyim Asy’ari.
1.
Signifikansi Pendidikan
Dalam membahas
masalah ini, K. H. Hasyim Asy’ari
mengorientasikan pendapatnya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sebagai
contohnya ialah beliau mengambil pemikiran pendidikan tentang keutamaan
menuntut ilmu dan keutamaan bagi yang
menuntut ilmu dari surah Al-Mujadillah ayat 11 yang kemudian beliau uraikan
secara singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan bahwa keutamaan yang
paling utama dalam menuntut ilmu adalah mengamalkannya. Secara langsung beliau
akan menjelaskan maksud perkataan itu, yaitu agar seseorang tidak melupakan
ilmu yang telah dimilikinya dan bermanfaat bagi kehidupannya di akhirat kelak. K.H. HasyimAsy’ari menyebutkan bahwa dalam
menuntut ilmu harus memperhatikan
dua hal pokok selain dari keimanan dan tauhid. Dua hal pokok tersebut adalah:
a. Bagi seorang
peserta didik hendaknya ia memiliki niat yang suci untuk menuntut ilmu, jangan
sekali-kali berniat untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan jangan melecehkan
atau menyepelekannya.
b. Bagi guru dalam
mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu tidak semata-mata
hanya mengharapkan materi, di samping itu hendaknya apa yang diajarkan sesuai
dengan apa yang diperbuat.
K. H. Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa
belajar bukanlah semata-mata hanya untuk menghilangkan kebodohan.Namun
belajar merupakan ibadah untuk mencari
ridha Allah yang mengantarkan seseorang unutk memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat.Karenanya belajar harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan
nilai-nilai Islam, bukan hanya sekedar menjadi alat penyebrangan untuk
mendapatkann materi yang berlimpah.[8]
2.
Tugas dan Tanggung Jawab Murid
a.
Etika yang
Harus diperhatikan dalam Belajar
Dalam hal ini
terdapat sepuluh etika yang ditawarkannya adalah membersihkan hati dari
berbagai gangguan keimanan dan keduniawiaan; membersihkan niat, tidak
menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah terhadap segala macam
pemberian dan cobaan; pandai mengatur waktu; menyederhanakan makanan dan
minuman; bersikap hati-hati (wara’); menghindarimakanan dan minuman ynag
menyebabkan kemalasan yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan; menyedikitkan
waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan; dan meninggalkan hal-hal yang
kurang berfaedah.
Dalam hal ini
terlihat, bahwa ia lebih menekankan pada pendidikan ruhani atau pendidikan
jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana
mengatur waktu, mengatur makan dan minum dan sebagainya.
b.
Etika Seorang
Murid terhadap Guru
Dalam membahas
masalah ini, ia menawarkan dua belas etika, yaitu: hendaknya selalu
memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatatakan atau dijelaskan oleh guru;
memilih guru yang wara’ (berhati-hati) di samping professional, mengikuti
jejak-jejak guru; memuliakan guru; memperhatikan apa yang menjadi hak guru;
bersabar terhadap kekerasan guru; berkunjung kepada guru pada tempatnya atau
mintalah ijin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak pada tempatnya;
duduklah dengan rapidan sopan bila berhadapan dengan guru; berbicaralah dengan
sopan dan lemah lembut; dengarkanlah segala fatwanya; jangan sekali-kali
menyela ketika sedang menjelaskan; dan gunakan anggota yang kanan bila menyerahkan
sesuatu kepadanya.
c.
Etika Murid
terhadap Pelajaran
Murid dalam
menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika sebagai berikut: memperhatikan ilmu
yang bersifat fardhu’ain untuk dipelajari; harus mempelajari ilmu-ilmu yang
mendukung ilmu fardhu’ain; berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama;
mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang yang dipercayainya;
senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu; pancangkan cita-cita yang tinggi;
bergaullah dengan orang yang berilmu lebih tinggi (pintar); ucapkan salam bila
sampai tempat majelis ta’lim (sekolah/ madrasah); bila terdapat hal-hal yang
belum dipahami hendaklah ditanyakan; bila kebetulan bersamaan dengan banyak
teman sebaiknya jangan mendahului antrian kalau tidak mendapat ijin; ke manapun
kita pergi dan di manapun kita berada jangan lupa membawa catatan; pelajari
pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah); tanamkan rasa
antusias/ semangat dalam belajar.
3.
Tugas dan Tanggung Jawab Guru
a.
Etika Seorang Guru
Tidak hanya
murid yang dituntut untuk beretika, apalah artinya etika diterapkan kepada
murid, jika guru yang mendidiknya tidak mempunyai etika. Oleh karena itu, ia juga menawarkan beberapa etika yang
harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain: senantiasamendekatkan diri
kepada Allah (taqarrab ila Allah); senantiasa takut kepada Allah; senantiasa
bersikap tenang; senantiasa berhati-hati (wara’); senantiasa tawaadhu’;
senantiasa khusu’; mengadukan segala persoalannya kepada Allah Swt; tidak
menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata; tidak selalu memanjakan
anak didiknya; berlaku zuhud dalam kehidupan dunia; berusaha menghindari
hal-hal yang rendah; menghindari tempat-tempat yang kotordan tempat ma’siyat;
mengamalkan sunnah Nabi; mengistiqomahkan membaca Al-Qur’an; bersikap ramah;
ceria; dan suka menaburkan salam; membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang tidak disukai Allah; menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan;
tidak menyalah gunakan ilmu dengan cara menyombongkannya,; dan membiasakan diri
menulis, mengarang, dan meringkas.
Catatan menarik
yang perlu dikedepankan dalam membahas masalah ini adalah etika atau statement
yang terakhir, di mana guru haruslah membiasakan diri menulis, mengarang dan
meringkas.Untuk menulis dan meringkas mungkin masih jarang dijumpai.Ini pula
yang dapat dijadikan sebagai salah satu faktor mengapa sulit dijumpai
tulisan-tulisan berupa karya-karya ilmiah. Sejak awal, ia memandang perlu
adanya tulisan dan karangan, sebab lewat tulisan itulah ilmu yang dimiliki
seseorang akan terabadikan dan akan banyak memberikan manfaat bagi generasi
selanjutnya, di samping itu juga akan terkenang sepanjang masa.
b.
Etika Guru
Ketika Mengajar
Seorang guru
ketika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu memperhatikan beberapa etika sebagai
berikut: mensucikan diri dari hadas dan kotoran; berpakaian yang sopan dan rapi
dan usahakan berbau wangi; berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
kepada anak didik; sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah; biasakan
membaca untuk menambah ilmu pengetahuan; berilah salam ketika masuk ke dalam
kelas; sebelum mengajar mulailah dulu dengan berdo’a untuk para ahli ilmu yang
telah lama meninggalkan kita; berpenampilanlah yang kalem dan jauhi hal-hal
yang tidak pantas dipandang mata; menjauhkan diri dari bergurau dan banyak
tertawa; jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk, dan
sebagainya; pada waktu mengajar hendaklah mengambil tempat duduk yang
strategis; usahakan tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, tegas dan lugas
serta tidak sombong; dalam mengajar hendaklah mendahulukan materi-materi yang
penting dan sesuaikan dengan profesioanal yang dimiliki; jangan sekali-kali
mengajarkan hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan; perhatikan
masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama,
menciptakan ketenangan dalam ruangan belajar; menasehati dan menegur dengan
baik bila terdapat anak didik yang bandel; bersikaplah terbuka terhadap
berbagai macam persoalan-persoalan yang ditemukan; berilah kesempatan kepada
peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasannya agar tahu
apa yang dimaksud; dan bila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik
untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum dipahami.
Terlihat bahwa
apa yang ditawarkannya lebihbersifat pragmatis. Artinya, apa yang ditawarkannya
berangkat dari parktek yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai
tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh bapak santri ini.
c.
Etika Guru Bersama Murid
Guru dan murid
tidak hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Akan tetapi antara keduanya juga mempunyai etika yang sama. Sama-sama
harus dimiliki oleh guru dan murid. Diantara etika tersebut adalah: berniat
mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat Islam,
menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawiaan, hendaknya selalu
memperhatikan introspeksi diri, mempergunakan metode yang sudah dipahami murid;
membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya; memberikan
latihan-latihan yang bersifat membantu; selalu memperhatikan kemampuan peserta
didik; tidak terlalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang
lainnya; mengarahkan minat peserta didik; bersikap terbuka dan lapang dada
terhadap peserta didik; membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta
didik; bila terdapat peserta didik yang berhalangan hendaknya mencari hal ihwal
kepada teman-temannya; tunjukkan sikap arif dan penyayang, kepada peserta
didik; dan tawadhu’[9]
Bila sebelumnya
seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, maka
setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga memiliki
tugas yang serupa seperti tersebut di atas.Ini mengindikasikan bahwa pemikiran
K. H. Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki
oleh peserta didik dan guru, namun juga kesamaan yang dimiliki dan yang harus
dijalani.Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada
hasil pemikirannya.
d.
Etika terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal
yang Berkaitan dengannya
Satu hal yang
paling menarikdan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa disampaikan
dalam ilmu pendidikan pada umumnya adalah etika terhadap buku dan alat-alat
pendidikan. Kalau pun ada etika untuk itu, maka itu biasanya bersifat kasuistik
dan sering kali tidak tertulis.Sering pula itu dianggap sebagai aturan yang
sudah umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan
tetapi, ia memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di antara etika
yang ditawarkan dalam masalah ini antara lain: menganjurkan dan mengusahakan
agar memiliki buku pelajaran yang diajarkan; merelakan, mengijinkan bila ada
kawan meminjam buku pelajaran; sebaliknya bagi peminjam harus menjaga barang
pinjaman tersebut; letakkan buku pelajaran pada tempat yang layak terhormat;
memeriksa terlebih dahulu bila membeli atau meminjam kalau-kalau ada kekurangan
lembarannya; bila menyalin buku pelajaran syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan
mengawalinya dengan Basmalah,sedangkan bila yang disalinnya adalah ilmu
retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan Hamdalah (puji-pujian) dan
Shalawat Nabi.
Kembali
terlihat kejelian dan ketelitiannya dalam melihat permasalahan dan seluk beluk
proses belajar mengajar. hal ini tidak akan terperhatikan bila pengalaman
mengenai hal ini tidak pernah dilaluinya. Oleh sebab itu, menjadi wajar apa
bila hal-hal yang kelihatannya sepele, tidak luput dari perhatiannya, karena ia
sendirimengabdikan hidupnya untuk ilmu dan agama, serta mempuyai kegemaran
membaca.
Untuk mengawali
suatu proses belajar maupun etika yang harus diterapkan kepada kitab atau buku
yang dijadikan sebagai sumber rujukan
menjadi catatan tersendiri, sebab hal ini tidak dijumpai pada
etika-etika belajar pada umumnya. Sangatlah beralasan mengapa kitab yang
menjadi sumber rujukan
harus diperlakukan “istimewa”. Betapa tidak, kitab kuning biasa disusun oleh
seorang yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan ganda, tidak hanya ahli
dalam bidangnya, akan tetapi juga bersih jiwanya.
Alasan yang demikian menyebabkan eksistensi
kitab kuning yang menjadi rujukan bagi dunia pesantren mendapat perlakuan
“istimewa” bila dibandingkan dengan buku-buku rujukan lain pada umumnya.
Mengapa harus bersuci terlebih dahulu bila mengkaji atau belajar?.Dasar
epistimologis yang digunakan dalam menjawab pertanyaan ini.Ilmu adalah Nur
Allah, maka bila hendak mencapai Nur tersebut maka harus suci terlebih dahulu.
Sebenarnya tidak hanya suci dari hadas, akan tetapi juga suci jiwa atau
rohaninya. Dengan demikian diharapkan ilmu yang yang bermanfaat dan membawa
berkah dapat diraihnya.[10]
C.
Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Islam K.
H. Hasyim Asy’ari
Karakteristik
pemikiran pendidikan Islam yang berkembang sejak awal Islam hingga sekarang
sangat beragam.Keberagaman ini dipengaruhi oleh konstruk sosial, politik dan
keagamaan yang berkembang sehingga antara ciri khas sebuah pemikiran atau
literatur dengan keadaan sosial ketika itu memiliki korelasi yang sangat
signifikan.
Namun demikian menurut Hasan Langgulung, tokoh
kependidikan kontemporer pada dasarnya literatur kependidikan itu digolongkan
ke dalam beberapa corak.Pertama, corak pemikiran pendidikan yang awalnya
adalah sajian dalam spesifik fiqih, tafsir dan hadis yang kemudian mendapat
perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini
diwakili oleh Ibn Hazm (384-345) dengan karyanya Kitab al-Mufashshal fi
al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Kedua, corak pemikiran pendidikan yang
bermuatan sastra.Contohnya adalah pendidikan yang bermuara sastra. Contohnya
adalah Ibn Muqaffa (106-142 H./724-759 M.) dengan karyanya Risalat
al-Shahabah dan al-Jahiz (160-255 H./ 755-686 M.) dengan karyanya al-Taj
fi Akhlak al-Muluk. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis.Contohnya
adalah corak pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah, Ikhwan
al-Shafa dan para filosof.Keempat, pemikiran pendidikan Islam yang
berdiri sendiri dan berlainan dengan beberapa corak di atas, tetapi ia tetap
berpegang pada semangat Al-Qur’an dan hadits. Corak yang terakhir ini terlihat
pada karya Muhammad ibn Sahnun (wafat 256 H./ 871 M.) dengan karyanya Adab
al-mu’allim, dan Burhan al-Din al-Zarnuji (wafat 571 atau 591 H) dengan
karyanya Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum.
Jika mengacu
pada tawaran Hasan Langgulung di atas, tampaknya Adab al-alim wa
al-muta’allim dapat digolongkan pada corak terakhir. Hal ini didasarkan
atas kenyataan yang ada dalam kitab tersebut yang tidak memuat kajian-kajian
dalam spesifik fiqih, sastra, dan filsafat kitab ini semata-mata memberi
petunjuk praktis bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan.
[1] Badiatul Roziqin, Badiatul Muclisin Asti,
Junaidi Abdul Munif,101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Cet. I;
Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hlm. 246.
[3]Uwedi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan
Islam, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2003), hlm.
140.
[4]Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan, (Cet. I; Bandung: Angkasa, 2003), hlm.354.
[5]Anonim, “Pemikiran
Pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari”(online,
http://sirojul.blog.com/ konsep-pendidikan-kh-hasyim-asy’ari), diakses pada
tanggal 2 Oktober 2014.
[6]Uwedi, Sejarah
dan Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 142.
[7]Ramayulis,
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 338.
[8]Anonim, “Pemikiran
Pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari”(online,
http://sirojul.blog.com/ konsep-pendidikan-kh-hasyim-asy’ari), diakses pada
tanggal 2 Oktober 2014.
[9] Ramayulis,
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya, hlm. 345