Selasa, 31 Mei 2016

Pemikiran Hasyim Asy'ari dalam Bidang Pendidikan



PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI DALAM BIDANG PENDIDIKAN
A.      Biografi K. H. Hasyim Asy’ari
K. H. Hasyim Asy’ari dilahirkan di desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 14 Februari 1871/ 24 Dzulqaidah 1287 H. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren di sebelah Selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah.Sejak kecil, Hasyim belajar langsung dari Ayah dan kakeknya, Kiai Ustman. Bakat kepemimpinan dan kecerdasannya memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Hasyim kecil sangat giat dan cerdas. Hasilnya, ia saat masih berumur 13 tahun, sang ayah menyuruhnya mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.[1]
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, pada usia 15 tahun, Hasyim berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Ia memulai petualangannnya menyerap ilmu agama di Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis Semarang.Belum puas dengan ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan belajar agama di Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura di bawah asuhan K. H. Khalil. Tak lama di Bangkalan, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan Sidoarjo.Di pesantren yang diasuh oleh K. H. Ya’qub inilah, agaknya Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.K. H. Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.
Selama lima tahun, Hasyim menekuni ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya, K. H. Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu.Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri.Ia, yang baru berumur 21 tahun dinikahkan dengan Khadijah, salah satu putri K. H. Ya’qub.
Tidak lama setelah perkawinan dengan Khadijah, K. H. Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana. Sesudah tujuh bulan berada di Kota Suci, istrinya melahirkan putranya yang pertama dan diberi nama Abdullah.Tidak berapa lama kemudian, istrinya yang sangat dicintainya itu wafat di Mekkah.Belum genap 40 hari sepeninggal istrinya, Abdullah putranya yang masih bayi meninggal pula. Akhirnya, pada tahun berikutnya ia kembali ke Indonesia.
Pada tahun 1893, Hasyim kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Pada tahun 1899 pulang ke Tanah Air.Di Mekkah ia berguru pada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadits.Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah dahulu di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia pada tahun 1899, Hasyim mengajar di Pesantren milik kakeknya, Kiai Ustman.
Kemudian, ia mendirikan pesantren di Tebu Ireng. Sejak tahun 1900, Hasyim memposisikan Pesantren Tebu Ireng menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.Dalam pesantren itu, bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
K. H. Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses.Tanahnya puluhan hektar.Dua hari dalam seminggu, biasanya K. H. Hasyim istirahat tidak mengajar.saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang kala, ia juga pergi ke Surabaya untuk berdagang kuda, besi dan hasil pertaniannya.
Dari bertani dan berdagang itulah, K. H. Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putrid Kiai Ilyas, K. H. Hasyim dikarunia 10 orang anak: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf.[2]
Aktifitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar lainnya, seperti Syekh Abdul Wahab dan Syekh Bishri Syansuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi ini didukung oleh para ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada awalnya, organisasi ini dikembangkan untuk merespon wacana khalifah dan gerakan purifikasi itu dikembangkan Rasyid Ridha di Mesir, tetapi pada perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekonstruksi sosial keagamaan yang lebih umum.Bahkan, dewasa ini, Nahdatul Ulama berkembang menjadi organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia.[3]
KH. Hasyim Asy’ari wafat pada jam 03.45 dini hari tanggal 25 Juli 1947/ 7 Ramadhan 1366 H., dalam usia 79 tahun, di rumahnya di Tebu Ireng Jombang dan dikebumikan di dalam kompleks pesantren yang dibangunnya.[4]

B.      Pemikiran Pendidikan Islam K. H. Hasyim Asy’ari
Untuk menuangkan pemikirannya tentang pendidikan Islam, K. H. Hasyim Asy’ari telah merangkum sebuah kitab karangannya yang berjudul Adab al-‘alim waal-muta’allim.[5]
Kitab Adab al-‘alim wa al-muta’allim merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadil al-Tsani tahun 1343.K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.Dalam konteks ini, K. H. Hasyim Asy’ari tampaknya berkeinginan bahwa dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan itu disertai oleh perilaku sosial yang santun (al-akhlak al-karimah).[6]
Untuk memahami pokok pikiran dalam kitab tersebut perlu pula diperhatikan latar belakang ditulisnya kitab tersebut. Penyusunan karya ini boleh jadi didorong oleh situasi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem pendidikan Barat (Imperialis Belanda) diterapkan di Indonesia.
Dalam kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang pendidikan Islam ke dalam delapan poin, yaitu:
1.   Keutamaan ilmu dan ilmuan serta keutamaan belajar mengajar.
2.   Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar.
3.   Etika seorang murid terhadap guru.
4.   Etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru.
5.   Etika yang harus dipedomani seorang guru.
6.   Etika guru ketika akan mengajar.
7.   Etika guru terhadap murid-muridnya.
8.   Etika terhadap buku, alat unutuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Dari delapan pokok pemikiran di atas, K. H. Hasyim membaginya kembali ke dalam tiga kelompok, yaitu: signifikansi pendidikan, tugas dan tanggung jawab seorang murid, dan tugas dan tanggung jawab seorang guru.[7]
Pada dasarnya, ketiga kelompok pemikiran tersebut adalah hasil integralisasi dari delapan pokok pendidikan yang dituangkan oleh K. H. Hasyim Asy’ari.
1.   Signifikansi Pendidikan
Dalam membahas masalah ini, K. H. Hasyim Asy’ari mengorientasikan pendapatnya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
 Sebagai contohnya ialah beliau mengambil pemikiran pendidikan tentang keutamaan menuntut ilmu dan keutamaan  bagi yang menuntut ilmu dari surah Al-Mujadillah ayat 11 yang kemudian beliau uraikan secara singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan bahwa keutamaan yang paling utama dalam menuntut ilmu adalah mengamalkannya. Secara langsung beliau akan menjelaskan maksud perkataan itu, yaitu agar seseorang tidak melupakan ilmu yang telah dimilikinya dan bermanfaat bagi kehidupannya di akhirat kelak. K.H. HasyimAsy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan dua hal pokok selain dari keimanan dan tauhid. Dua hal pokok tersebut adalah:
a.    Bagi seorang peserta didik hendaknya ia memiliki niat yang suci untuk menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya.
b.   Bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu tidak semata-mata hanya mengharapkan materi, di samping itu hendaknya apa yang diajarkan sesuai dengan apa yang diperbuat.
K. H. Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa belajar bukanlah semata-mata hanya untuk menghilangkan kebodohan.Namun belajar  merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang unutk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.Karenanya belajar harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya sekedar menjadi alat penyebrangan untuk mendapatkann materi yang berlimpah.[8]
2.   Tugas dan Tanggung Jawab Murid
a.    Etika yang Harus diperhatikan dalam Belajar
Dalam hal ini terdapat sepuluh etika yang ditawarkannya adalah membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawiaan; membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan; pandai mengatur waktu; menyederhanakan makanan dan minuman; bersikap hati-hati (wara’); menghindarimakanan dan minuman ynag menyebabkan kemalasan yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan; menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan; dan meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.
Dalam hal ini terlihat, bahwa ia lebih menekankan pada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur waktu, mengatur makan dan minum dan sebagainya.




b.    Etika Seorang Murid terhadap Guru
Dalam membahas masalah ini, ia menawarkan dua belas etika, yaitu: hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatatakan atau dijelaskan oleh guru; memilih guru yang wara’ (berhati-hati) di samping professional, mengikuti jejak-jejak guru; memuliakan guru; memperhatikan apa yang menjadi hak guru; bersabar terhadap kekerasan guru; berkunjung kepada guru pada tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak pada tempatnya; duduklah dengan rapidan sopan bila berhadapan dengan guru; berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut; dengarkanlah segala fatwanya; jangan sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan; dan gunakan anggota yang kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.

c.     Etika Murid terhadap Pelajaran
Murid dalam menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika sebagai berikut: memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu’ain untuk dipelajari; harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu’ain; berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama; mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang yang dipercayainya; senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu; pancangkan cita-cita yang tinggi; bergaullah dengan orang yang berilmu lebih tinggi (pintar); ucapkan salam bila sampai tempat majelis ta’lim (sekolah/ madrasah); bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaklah ditanyakan; bila kebetulan bersamaan dengan banyak teman sebaiknya jangan mendahului antrian kalau tidak mendapat ijin; ke manapun kita pergi dan di manapun kita berada jangan lupa membawa catatan; pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah); tanamkan rasa antusias/ semangat dalam belajar.



3.   Tugas dan Tanggung Jawab Guru
a.   Etika Seorang Guru
Tidak hanya murid yang dituntut untuk beretika, apalah artinya etika diterapkan kepada murid, jika guru yang mendidiknya tidak mempunyai etika. Oleh karena  itu, ia juga menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain: senantiasamendekatkan diri kepada Allah (taqarrab ila Allah); senantiasa takut kepada Allah; senantiasa bersikap tenang; senantiasa berhati-hati (wara’); senantiasa tawaadhu’; senantiasa khusu’; mengadukan segala persoalannya kepada Allah Swt; tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata; tidak selalu memanjakan anak didiknya; berlaku zuhud dalam kehidupan dunia; berusaha menghindari hal-hal yang rendah; menghindari tempat-tempat yang kotordan tempat ma’siyat; mengamalkan sunnah Nabi; mengistiqomahkan membaca Al-Qur’an; bersikap ramah; ceria; dan suka menaburkan salam; membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai Allah; menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan; tidak menyalah gunakan ilmu dengan cara menyombongkannya,; dan membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas.
Catatan menarik yang perlu dikedepankan dalam membahas masalah ini adalah etika atau statement yang terakhir, di mana guru haruslah membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.Untuk menulis dan meringkas mungkin masih jarang dijumpai.Ini pula yang dapat dijadikan sebagai salah satu faktor mengapa sulit dijumpai tulisan-tulisan berupa karya-karya ilmiah. Sejak awal, ia memandang perlu adanya tulisan dan karangan, sebab lewat tulisan itulah ilmu yang dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan banyak memberikan manfaat bagi generasi selanjutnya, di samping itu juga akan terkenang sepanjang masa.
b.    Etika Guru Ketika Mengajar
Seorang guru ketika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu memperhatikan beberapa etika sebagai berikut: mensucikan diri dari hadas dan kotoran; berpakaian yang sopan dan rapi dan usahakan berbau wangi; berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik; sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah; biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan; berilah salam ketika masuk ke dalam kelas; sebelum mengajar mulailah dulu dengan berdo’a untuk para ahli ilmu yang telah lama meninggalkan kita; berpenampilanlah yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata; menjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa; jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk, dan sebagainya; pada waktu mengajar hendaklah mengambil tempat duduk yang strategis; usahakan tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, tegas dan lugas serta tidak sombong; dalam mengajar hendaklah mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuaikan dengan profesioanal yang dimiliki; jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan; perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama, menciptakan ketenangan dalam ruangan belajar; menasehati dan menegur dengan baik bila terdapat anak didik yang bandel; bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-persoalan yang ditemukan; berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksud; dan bila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum dipahami.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkannya lebihbersifat pragmatis. Artinya, apa yang ditawarkannya berangkat dari parktek yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh bapak santri ini.
c.    Etika Guru Bersama Murid
Guru dan murid tidak hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi antara keduanya juga mempunyai etika yang sama. Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan murid. Diantara etika tersebut adalah: berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat Islam, menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawiaan, hendaknya selalu memperhatikan introspeksi diri, mempergunakan metode yang sudah dipahami murid; membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya; memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu; selalu memperhatikan kemampuan peserta didik; tidak terlalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya; mengarahkan minat peserta didik; bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik; membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik; bila terdapat peserta didik yang berhalangan hendaknya mencari hal ihwal kepada teman-temannya; tunjukkan sikap arif dan penyayang, kepada peserta didik; dan tawadhu’[9]
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas.Ini mengindikasikan bahwa pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga kesamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani.Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil pemikirannya.

d.   Etika terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal yang Berkaitan dengannya
Satu hal yang paling menarikdan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada umumnya adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Kalau pun ada etika untuk itu, maka itu biasanya bersifat kasuistik dan sering kali tidak tertulis.Sering pula itu dianggap sebagai aturan yang sudah umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi, ia memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di antara etika yang ditawarkan dalam masalah ini antara lain: menganjurkan dan mengusahakan agar memiliki buku pelajaran yang diajarkan; merelakan, mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran; sebaliknya bagi peminjam harus menjaga barang pinjaman tersebut; letakkan buku pelajaran pada tempat yang layak terhormat; memeriksa terlebih dahulu bila membeli atau meminjam kalau-kalau ada kekurangan lembarannya; bila menyalin buku pelajaran syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan mengawalinya dengan Basmalah,sedangkan bila yang disalinnya adalah ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan Hamdalah (puji-pujian) dan Shalawat Nabi.
Kembali terlihat kejelian dan ketelitiannya dalam melihat permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar. hal ini tidak akan terperhatikan bila pengalaman mengenai hal ini tidak pernah dilaluinya. Oleh sebab itu, menjadi wajar apa bila hal-hal yang kelihatannya sepele, tidak luput dari perhatiannya, karena ia sendirimengabdikan hidupnya untuk ilmu dan agama, serta mempuyai kegemaran membaca.
Untuk mengawali suatu proses belajar maupun etika yang harus diterapkan kepada kitab atau buku yang dijadikan sebagai sumber rujukan  menjadi catatan tersendiri, sebab hal ini tidak dijumpai pada etika-etika belajar pada umumnya. Sangatlah beralasan mengapa kitab yang menjadi sumber rujukan harus diperlakukan “istimewa”. Betapa tidak, kitab kuning biasa disusun oleh seorang yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan ganda, tidak hanya ahli dalam bidangnya, akan tetapi juga bersih jiwanya.
Alasan yang demikian menyebabkan eksistensi kitab kuning yang menjadi rujukan bagi dunia pesantren mendapat perlakuan “istimewa” bila dibandingkan dengan buku-buku rujukan lain pada umumnya. Mengapa harus bersuci terlebih dahulu bila mengkaji atau belajar?.Dasar epistimologis yang digunakan dalam menjawab pertanyaan ini.Ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mencapai Nur tersebut maka harus suci terlebih dahulu. Sebenarnya tidak hanya suci dari hadas, akan tetapi juga suci jiwa atau rohaninya. Dengan demikian diharapkan ilmu yang yang bermanfaat dan membawa berkah dapat diraihnya.[10]

C.      Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Islam K. H. Hasyim Asy’ari
Karakteristik pemikiran pendidikan Islam yang berkembang sejak awal Islam hingga sekarang sangat beragam.Keberagaman ini dipengaruhi oleh konstruk sosial, politik dan keagamaan yang berkembang sehingga antara ciri khas sebuah pemikiran atau literatur dengan keadaan sosial ketika itu memiliki korelasi yang sangat signifikan.
Namun demikian menurut Hasan Langgulung, tokoh kependidikan kontemporer pada dasarnya literatur kependidikan itu digolongkan ke dalam beberapa corak.Pertama, corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifik fiqih, tafsir dan hadis yang kemudian mendapat perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini diwakili oleh Ibn Hazm (384-345) dengan karyanya Kitab al-Mufashshal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Kedua, corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra.Contohnya adalah pendidikan yang bermuara sastra. Contohnya adalah Ibn Muqaffa (106-142 H./724-759 M.) dengan karyanya Risalat al-Shahabah dan al-Jahiz (160-255 H./ 755-686 M.) dengan karyanya al-Taj fi Akhlak al-Muluk. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis.Contohnya adalah corak pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah, Ikhwan al-Shafa dan para filosof.Keempat, pemikiran pendidikan Islam yang berdiri sendiri dan berlainan dengan beberapa corak di atas, tetapi ia tetap berpegang pada semangat Al-Qur’an dan hadits. Corak yang terakhir ini terlihat pada karya Muhammad ibn Sahnun (wafat 256 H./ 871 M.) dengan karyanya Adab al-mu’allim, dan Burhan al-Din al-Zarnuji (wafat 571 atau 591 H) dengan karyanya Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum.
Jika mengacu pada tawaran Hasan Langgulung di atas, tampaknya Adab al-alim wa al-muta’allim dapat digolongkan pada corak terakhir. Hal ini didasarkan atas kenyataan yang ada dalam kitab tersebut yang tidak memuat kajian-kajian dalam spesifik fiqih, sastra, dan filsafat kitab ini semata-mata memberi petunjuk praktis bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan.









                                   


[1] Badiatul Roziqin, Badiatul Muclisin Asti, Junaidi Abdul Munif,101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Cet. I; Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hlm. 246.

[2]Ibid.,hlm. 247.
[3]Uwedi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2003), hlm. 140.
[4]Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Cet. I; Bandung: Angkasa, 2003), hlm.354.
[5]Anonim, “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari”(online, http://sirojul.blog.com/ konsep-pendidikan-kh-hasyim-asy’ari), diakses pada tanggal 2 Oktober 2014.

[6]Uwedi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 142.

[7]Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Cet. III; Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 338.

[8]Anonim, “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari”(online, http://sirojul.blog.com/ konsep-pendidikan-kh-hasyim-asy’ari), diakses pada tanggal 2 Oktober 2014.

[9] Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, hlm. 345
[10]Ibid., hlm. 346